Tajdid,
Manhaj Tarjih, dan Produk Hukum Majelis Tarjih
oleh : Wawan Gunawan Abdul Wahid
Tajdid bagi
Muhammadiyah merujuk pada dua pengertian sekaligus. Pertama tajdid bermakna
dinamisasi. Kedua, tajdid bermakna purifikasi, pemurnian. Ketika Kiai Dahlan
mengoreksi arah kiblat Masjid Gedhe, Kiai sedang lakukan tajdid dalam dua
pengertiannya sekaligus. Al-Qur’an dan Hadits mengajarkan bahwa arah wadag
shalat kaum Muslimin mesti menuju ke kiblat Baitullah. Untuk mengaplikasikan
ajaran Islam itu Kiai gunakan pengetahuan “baru’ yang jarang digunakan oleh
umat Islam saat itu.
Demikianlah Kiai Dahlan
memproduksi temuan-temuan tajdid lainnya. Didirikannya organisasi Perempuan
bernama Aisyiyah, Hizbul Wathan, Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem.
Bersamaan dengan itu Kiai pun melakukan purifikasi praktik umat
Islam.Sebagaimana ditegaskan salah satu muridnya bernama KRH Hadjid (2008)
bahwa Kiai berhasil menghilangkan praktik-praktik umat yang tidak diajarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kiai memberantas selamatan waktu seorang ibu
mengandung tujuh bulan, bacaan mauludan dengan memukul rebana ketika membaca
“asyaraqal badru”, shadaqah bernama surtanah saat orang meninggal, selamatan
tiga hari, baca tahlil tiap malam ketika orang meninggal sampai 7 hari,
selamatan 40 hari, 100 hari, setahun, seribu hari (nyewu), serta bacaan tahlil
70.000 untuk menebus dosa, haul (ulang tahun kematian) dengan membaca tahlil,
perayaan 10 asyura dan mengadakan padusan (mandi) serta pergi ke kuburan untuk
kirim doa, upacara nishfu sya’ban dengan bacaan-bacaan yang tidak diajarkan
as-Sunah, taqlid kepada ulama tanpa tahu dalil-dalilnya, bacaan-bacaan tahlil
Qur’an untuk dihadiahkan kepada ahli kubur, mengadakan ziarah kubur pada bulan
sya’ban, membaca shalawat khusus tiap malam Jum’at dengan gunakan rebana, jimat
yang dipakaikan kepada anak-anak, minta keselamatan kepada kuburan dan tawassul
kepada Nabi saw.
Disamping
praktik-praktik tersebut diatas, KHR Hadjid pun menyebutkan bahwa Kiai Dahlan
mengoreksi praktik umat kala itu yang terbiasa tunaikan shalat qabliyah dua
raka’at sebelum shalat Jum’at serta adzan dua kali sebelum shalat Jum’at
(Hadjid, 2008:101).
Kenyataan bahwa Kiai Dahlan
masih tunaikan shalat tarawih 23 rakaat, serta tunaikan qunut dalam shalat
subuh sama sekali tidak mengurangi virus tajdid yang ditebarnya. Boleh jadi
Kiai belum melihat alasan-alasan yang dipandangnya lebih kuat sebagaimana
koreksinya untuk shalat dua rakaat sebelum shalat Jum’at dan adzan Jumat dua
kali. Sepeninggal Kiai Dahlan Muhammadiyah terus berkembang ke berbagai daerah
dengan penambahan anggota-anggotanya. Bersamaan dengan itu timbul perdebatan di
kalangan warga Persyarikatan mana diantara praktik ibadah yang dilakukan umat
yang lebih mendekati kebenaran, disertai adanya beberapa faham gerakan yang
menyusupi Muhammadiyah. Dalam konteks historis seperti itulah Majelis Tarjih
Muhammadiyah didirikan pada tahun 1927. Sejak saat itulah peran tajdid yang
disemaikan Kiai Dahlan diambil alih oleh Majelis Tarjih yang ketua pertamanya
KH Mas Mansur. Sejak saat itu Majelis Tarjih, menghasilkan sekian produk hukum
yang pada awalnya lebih banyak gunakan spirirt tajdid dalam makna purifikasi.
Salah satu produk hukum itu adalah tuntunan shalat malam di bulan ramadlan yang
lebih dikenal dengan shalat tarawih yang berjumlah 11 raka’at serta tuntunan
untuk tidak tunaikan qunut pada shalat Subuh.
Demikianlah hingga
saat ini Majelis Tarjih telah menghasilkan sekian banyak produk putusan serta
fatwa yang umumnya dirujuk sebagai tuntunan warga Muhammadiyah serta kaum
Muslimin yang bersimpati pada Muhammadiyah. Dari sekian putusan itu ada yang
terhimpun dalam sebuh kitab yang lebih dikenal dengan Himpunan Putusan Tarjih
dan lebih banyak lagi yang berupa tuntunan yang bersifat tematis yang ditulis
dalam satu buku tersendiri seperti al-Amwal fil Islam, Tuntunan Keluarga
Sakinah, Tuntunan Adabul Mar’ah fil Islam, Bayi Tabung dan Transpantasi, Nikah
antar Agama, Hukum Aborsi, Koperasi Simpan Pinjam, Hukum Zakat Profesi dan lain
sebaganya.
Tidak sedikit yang salah faham
tentang kata tarjih yang digunakan oleh Majelis Tarjih. Dalam Muhammadiyah,
tarjih tidak hanya dimaknai sebagai sekedar kegiatan memilih suatu pendapat
yang dipandang lebih kuat. Tarjih dalam Muhammadiyah mempunyai makna yang lebih
luas. Sehingga kata tarjih dalam Muhammadiyah identik dengan kata ijtihad itu
sendiri. Dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan sebagai: (1) “setiap
aktifitas intelektual untuk merespons realitas sosial dan kemanusiaan dari
sudut pandang agama Islam, khususnya dari sudut pandang norma-norma syariah.”
(2) Oleh karena itu bertarjih artinya sama atau hampir sama dengan melakukan
ijtihad mengenai suatu masalah dilihat dari perspektif agama Islam (Syamsul
Anwar, 2010). Dalam kegiatan bertarjih itu para ulama Tarjih gunakan prosedur
dan tahap pikir yang disebut sebagai Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Prosedur ini
menghimpun unsur-unsur yang meliputi wawasan, semangat, sumber, pendekatan, dan
prosedur-prosedur tehnis (metode). Dengan demikian Manhaj Tarjih dapat
dikatakan sebagai “kegiatan intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari
sudut pandang syariah tidak sekedar bertumpu pada sejumlah prosedur teknis an
sich, melainkan juga dilandasi oleh semangat pemahaman agama yang menjadi
karakteristik pemikiran Islam Muhammadiyah…” (Syamsul Anwar, 2010).
Manhaj Tarjih dari
tahun ke tahun mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada masa-masa awal,
Majelis Tajih menghasilkan prodruk hukumnya lebih banyak memanfaatkan
pendekatan tarjih. Ia itu mencari dalil yang lebih kuat diantara dalil-dalil
yang ada. Dalam perkembangan lebih lanjut Majelis Tarjih gunakan berbagai
pendekatan yang kemudian diklasifikasikan sebagai model ijtihad bayani, qiyasi
serta istishlahi. Model ini pun kemudian diperkaya lagi dengan model ijtihad
bayani, burhani serta ‘irfani. Aplikasi model-model ijtihad ini dapat diperkaya
dengan berbagai temuan keilmuan modern terkait sosiologi, antropologi dan lain
sebagainya yang sejalan dengan nafas Islam.
Memperhatikan perjalanan
Majelis Tarjih serta produk hukum yang dihasilkannya, tidak menutup kemungkinan
Manhaj Tarjih ini akan terus berkembang. Mengantisipasi hal sedemikian, Majelis
Tarjih telah membuat semacam ancangan untuk pengembangan manhajnya dengan
meletakkan prinisp-prinsip pengembangannya pada tiga ranah yaitu: (1)
al-muraa’at (konservasi) artinya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat
dalam wahyu untuk menyelesaikan persoalan kehidupan. Ini dilakukan dengan upaya
furifikasi atau pemurnian ajaran Islam. Prinsip ini dipraktikkan pada bidang
akidah dan ibadah; (2) at-tahdits (modernisasi) artinya upaya pelaksanaan
ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual umat sesuai dengan perkembangan
zaman dan tempat. Ini dilakukan dengan melakukan reaktualisasi, reinterpretasi
dan revitalisasi ajaran Islam; (3) al-ibtikar (kreasi), penciptaan rumusan
pemikiran Islam secara kreatif, konstruktif dalam menyahuti persoalan kekinian.
Ini dilakukan dengan menemukan dan menerima nilai-nilai yang tidak bertentangan
dengan nilai Islam melalui seleksi yang ketat dan komprehensif (2000).
Menarik untuk
dituliskan bahwa seringkali praktik ijtihad para ulama Muhammadiyah lebih
mendahului prosedur manhaj tarjih Muhammadiyah. Model ijtihad irfani diputuskan
tahun 2000 di Jakarta sementara produk hukum yang bernuansa irfani sudah
dihasilkan ulama Muhammadiyah jauh beberapa tahun sebelumnya. Misalnya, fatwa
Tarjih tentang hukum poligami. Para ulama Muhammadiyah mengakui adanya nas-nas Al-Qur’an
berkaitan dengan poligami. Namun demikian, merekapun menegaskan bahwa dalam
berkeluarga ada berbagai kewajiban yang mesti ditunaikan oleh suami. Karena itu
difatwakan bahwa meskipun ada kebolehan untuk lakukan poligami, tetapi
memperhatikan berbagai kewajiban yang tidak mudah ditunaikan itu kepada suami
dituntunkan untuk mempertimbangkan kembali pilihannya untuk lakukan poligami
(1992).
Mengikuti perjalanan waktu,
saat ini sering terdengar dua tuduhan yang dialamatkan kepada Majelis Tarjih.
Pertama tuduhan liberal, kedua tudingan terlalu ke kanan. Tuduhan kanan, antara
lain dengan merujukan pada fatwa Tarjih tentang keharaman rokok yang dihasilkan
pada awal tahun 2010. Tentu saja cap kanan kepada Majelis Tarjih itu tidak
tepat. Itu tidak saja karena hanya menggunakan satu misal untuk melabeli
Majelis Tarjih lebih dari itu cap kanan dengan alasan keharaman rokok sama
sekali tidak berdasar. Pembacaan secara seksama terhadap manhaj tarjih yang
digunakan dalam menghasilkan fatwa keharaman rokok, memperlihatkan bahwa
Majelis Tarjih sangat teliti dalam merancang produk hukum. Majelis tidak
menghendaki persoalan rokok diselesaikan dengan hanya merakit alasan-alasan
ushuliyah belaka. Lebih dari itu Majelis menghendaki masalah hukum rokok mesti
dituntaskan dengan pendekatan yang komprehensif. Disini Majelis gunakan dua
model ijtihad bayani dan burhani secara sekaligus. Ijtihad bayani ditunjukkan
dengan perujukan nash-nash Al-Qur’an dan Hadits secara komprehensif. Sedangkan
ijtihad burhani ditunjukan oleh penggunaan ilmu kedokteran dan ilmu ekonomi
serta keilmuan aktivis yang mengkonfirmasi kebenaran dalil-dalil nash.
Sementara memperhatikan misi dari fatwa ini diketahui bahwa Majelis Tarjih
Muhammadiyah hendak mengajak warga Muhammadiyah khususnya, dan umat Islam pada
umumnya untuk hidup bersih dari berbagai hal yang dapat melemahkan jiwa dan
raga. Sedemikian rupa sehingga berpotensi untuk melemahkan generasi yang
dicitakan nusa bangsa dan agama.
Pada tahun 2010
pada Munasnya yang ke 27 di Malang, Majelis Tarjih menghasilkan dua draf
putusan Fiqih al-Ma’un serta Fiqih Perempuan. Dua rancangan putusan tersebut
sama sekali jauh dari ciri-ciri kanan. Yang pertama mengusung spirit
inklusivisme Islam yang menjadi “tenda” untuk semua yang diajarkan agama ini.
Sedangkan yang kedua membawa pesan Islam yang ramah terhadap perempuan. Draf
putusan fikih perempuan di atas sesungguhnya merupakan pelengkap tuntunan
tentang Etika Perempuan dalam Islam yang dikenal dengan nama Adabul Mar’ah fil
Islam yang dihasilkan di Garut Jawa Barat tahun 1976. Adabul Mar’ah fil Islam
secara filosofis menegaskan bahwa perempuan sebagaimana halnya laki-laki
memiliki kewajiban dan hak yang setara di depan Allah dan karenanya pula
memiliki kesetaraan untuk berperan pada semua lapangan kehidupan. Alaa kulli hal, harapan dari
semua warga Persyarikatan tertuju kepada Majelis Tarjih Muhammadiyah untuk
tetap mengusung gerak tajdid Muhammadiyah dengan menghasilkan berbagai produk
tuntunan yang berkemajuan. Semoga. Wallahu A’lam bish-Shawab.
Wawan
Gunawan Abdul Wahid, Alumni Angkatan Pertama PP
Darul Arqam Muhammadiyah (1978-1984) Dosen Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
sumber : http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/07/02/tajdid-manhaj-tarjih-dan-produk-hukum-majelis-tarjih/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar