"Sesungguhnya Allah Akan Mengangkat Derajat Orang Yang Beriman dan Memiliki Ilmu Pengetahuan Beberapa Derajat"

Selasa, 23 Agustus 2016

mencoba membahas pol ITIK

POLITIK = KEKUASAAN
Kecerdasan dalam memilih Pemimpin
oleh : Abu Quhava Ahda AL- Banjary



Berbicara masalah politik memang tidak pernah ada habisnya, apalagi ketika hangat-hangatnya kegiatan pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan kepala desa serta ketua Rukun Tetangga (RT). Dalam situasi dan kondisi menjelang Pemilu banyak orang yang berbicara seputar politik bahkan seolah-olah semuanya sebagai pakar. Pembicaraan biasanya seputar kepribadian para calon serta visi dan misi yang diusung yang dijanjikan akan diterapkan ketika terpilih.
Terlepas dari pembicaraan masalah di atas, masalah politik memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, baik sejak zaman primitif, mulai mengenal peradaban hingga zaman modern sekarang ini. Konten penting dari politik adalah kekuasaan,  bagaimana memperolehnya dan bagaimana kelak menggunakannya. Mengingat besarnya peran 'kekuasan' dalam maju atau berantakannya suatu negara (baca juga; lembaga) maka perlu manajemen yang baik untuk mengurusnya. bahkan saat ini sering kali orang terjun dalam dunia politik dan berambisi menjadi pemimpin karena dorongan (motif) materi dan prestise semata.
Seorang muslim sebagai kelompok (ummat) yang memiliki pegangan yang jelas bahkan pegangan tersebut berdasarkan wahyu ilahiah tentu harus lebih baik dalam menyikapi masalah politik, apakah ia dalam posisi sebagai terpilih ataupun pemilih. Seorang muslim memang tidak sepantasnya mengejar atau meminta dipilih menjadi seorang pemimpin, akan tetapi ketika diberikan amanat ia harus mampu mengemban amanat yang diberikan sesuai jalur yang digariskan syari'at. Sepintar dan secerdas apapun manusia, sehebat apapun kebijakan yang dijalankan tidak akan mampu menadingi garis aturan haluan hidup yang dibaut oleh Allah dan dijelaskan oleh RasulNya Shallallahu aialihi wa sallam. sebab tuntunan Allah dan RasulNya pasti mengandung kemaslahatan, baik kemashlahatan telah diketahui ataupun tidak. Kemampuan manusia amat terbatas, sehingga amat sombong  ketika seseorang merasa mampu menyelesaikan perkara hidupnya sendiri dan masyarakat banyak yang ia pimpin hanya dengan modal akal dan kemampuannya yang terbatas. Bahkan parahnya lagi, seolah ia lupa terlahir dalam keadaan lemah serta tanpa memiliki apa-apa. Pun begitu pula jika ia dalam posisi memilih calon pemimpin, tidak boleh sekedar memilih akan tetapi harus memperhatikan pribadi yang akan ia pilih, terutama masalah akidah (keyakinan/agama) yang akan dipilih. Memilih pemimpin dari golongan kafir (non muslim) adalah kesahan besar.
Memang kita akui bahwa negara telah yang dibangun oleh para pendahulu telah konsensus (sepakat) bahwa negara ini adalah negara demokrasi. Negara yang mengusung semboyan dari Rakyat, oleh Rakyat dan untuk Rakyat. Semboyan yang menempatkan rakyat (orang banyak) sebagai fokus utama ini tampak sangat disanjung dan diyakini oleh sebagian besar orang sebagai sistem yang paling sesuai dengan keadaan saat ini. Akan tetapi kalau kita mau lebih jauh berpfikir terkait hak dalam proses memilih pemimpin, maka kita akan menemukan kesenjangan yang cukup dalam. Dengan dalih bahwa setiap orang memiliki hak, maka dengan otomatis setiap orang hanya dilihat dari kuantitas bukan dari kualitas. Selama orang tersebut telah cukup syarat sebagi pemilih maka ia boleh memberikan suaranya untuk memilih pemimpin idamannya. Dengan konsep seperti ini maka semua orang bernilai sama, apakah ia orang baik ataukah orang jahat, apakah ia seorang cendikia ataukah hanya seorang rakyat biasa, bahkan seorang ulama yang memiliki pengetahuan mendalam sama dengan preman pasar yang lebih sering menggunakan tenaga daripada otaknya.
Oleh sebab itu, dari uraian di atas dapat diketahui gambaran umumnya, bahwa jika suatu masyarakat yang tinggal disuatu daerah lebih banyak pelaku maksiat dari pada yang melakukan ibadat maka pemimpin yang dihasilkan adalah pemimpin yang maksiat. Karena tidak mungkin kebaikan bercampur dengan keburukan dan begitu sebaliknya. Tidak mungkin pelaku maksiat menjadikan teman setia seorang yang gemar beribadah dan mustahil ahli ibadah menjadikan sahabat seorang pelaku maksiat. Selain itu kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang syarat yang harus dipenuhi oleh calon pemimpin, seseorang sering memilih hanya berdasarkan emosi, ikut-ikutan bahkan hanya karena iming-iming  materi yang dijanjikan. Maka kita tidak terkejut jika ada seorang muslim bahkan tanpak sekali secara fisik keislamannya malah memilih pemimpin kafir (non muslim).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar