POLITIK = KEKUASAAN
Kecerdasan dalam memilih Pemimpin
oleh : Abu Quhava Ahda AL- Banjary
Berbicara masalah politik memang tidak pernah ada
habisnya, apalagi ketika hangat-hangatnya kegiatan pemilihan umum, baik
pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden atau pemilihan kepala daerah bahkan pemilihan kepala desa serta ketua Rukun Tetangga (RT). Dalam situasi dan kondisi menjelang Pemilu
banyak orang yang berbicara seputar politik bahkan seolah-olah semuanya sebagai
pakar. Pembicaraan biasanya seputar kepribadian para calon serta visi dan misi
yang diusung yang dijanjikan akan diterapkan ketika terpilih.
Terlepas dari pembicaraan masalah di atas,
masalah politik memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, baik sejak
zaman primitif, mulai mengenal peradaban hingga zaman modern sekarang ini. Konten
penting dari politik adalah kekuasaan,
bagaimana memperolehnya dan bagaimana kelak menggunakannya. Mengingat besarnya peran 'kekuasan' dalam maju atau berantakannya suatu negara (baca juga; lembaga) maka perlu manajemen yang baik untuk mengurusnya. bahkan saat ini sering kali orang terjun dalam dunia politik dan berambisi menjadi pemimpin karena dorongan (motif) materi dan prestise semata.
Seorang muslim sebagai kelompok (ummat) yang
memiliki pegangan yang jelas bahkan pegangan tersebut berdasarkan wahyu ilahiah
tentu harus lebih baik dalam menyikapi masalah politik, apakah ia dalam posisi
sebagai terpilih ataupun pemilih. Seorang muslim memang tidak sepantasnya
mengejar atau meminta dipilih menjadi seorang pemimpin, akan tetapi ketika
diberikan amanat ia harus mampu mengemban amanat yang diberikan sesuai jalur
yang digariskan syari'at. Sepintar dan secerdas apapun manusia, sehebat apapun
kebijakan yang dijalankan tidak akan mampu menadingi garis aturan haluan hidup
yang dibaut oleh Allah dan dijelaskan oleh RasulNya Shallallahu aialihi wa
sallam. sebab tuntunan Allah dan RasulNya pasti mengandung kemaslahatan, baik kemashlahatan telah diketahui ataupun tidak. Kemampuan manusia amat terbatas, sehingga amat sombong ketika seseorang merasa mampu menyelesaikan perkara hidupnya sendiri dan masyarakat banyak yang ia pimpin hanya dengan modal akal dan kemampuannya yang terbatas. Bahkan parahnya lagi, seolah ia lupa terlahir dalam keadaan lemah serta tanpa memiliki
apa-apa. Pun begitu pula jika ia dalam posisi memilih calon pemimpin, tidak
boleh sekedar memilih akan tetapi harus memperhatikan pribadi yang akan ia
pilih, terutama masalah akidah (keyakinan/agama) yang akan dipilih. Memilih pemimpin
dari golongan kafir (non muslim) adalah kesahan besar.
Memang kita akui bahwa negara telah yang
dibangun oleh para pendahulu telah konsensus (sepakat) bahwa negara ini adalah negara demokrasi. Negara yang mengusung semboyan dari Rakyat, oleh Rakyat dan untuk Rakyat. Semboyan yang
menempatkan rakyat (orang banyak) sebagai fokus utama ini tampak sangat
disanjung dan diyakini oleh sebagian besar orang sebagai sistem yang paling
sesuai dengan keadaan saat ini. Akan tetapi kalau kita mau lebih jauh berpfikir
terkait hak dalam proses memilih pemimpin, maka kita akan menemukan kesenjangan
yang cukup dalam. Dengan dalih bahwa setiap orang memiliki hak, maka dengan
otomatis setiap orang hanya dilihat dari kuantitas bukan dari kualitas. Selama orang
tersebut telah cukup syarat sebagi pemilih maka ia boleh memberikan suaranya
untuk memilih pemimpin idamannya. Dengan konsep seperti ini maka semua orang
bernilai sama, apakah ia orang baik ataukah orang jahat, apakah ia seorang
cendikia ataukah hanya seorang rakyat biasa, bahkan seorang ulama yang memiliki
pengetahuan mendalam sama dengan preman pasar yang lebih sering menggunakan
tenaga daripada otaknya.
Oleh sebab itu, dari uraian di atas dapat
diketahui gambaran umumnya, bahwa jika suatu masyarakat yang tinggal disuatu
daerah lebih banyak pelaku maksiat dari pada yang melakukan ibadat maka
pemimpin yang dihasilkan adalah pemimpin yang maksiat. Karena tidak mungkin
kebaikan bercampur dengan keburukan dan begitu sebaliknya. Tidak mungkin pelaku
maksiat menjadikan teman setia seorang yang gemar beribadah dan mustahil ahli
ibadah menjadikan sahabat seorang pelaku maksiat. Selain itu kurangnya pemahaman dan
pengetahuan tentang syarat yang harus dipenuhi oleh calon pemimpin, seseorang sering memilih hanya berdasarkan emosi, ikut-ikutan bahkan hanya
karena iming-iming materi yang
dijanjikan. Maka kita tidak terkejut jika ada seorang muslim bahkan tanpak sekali secara
fisik keislamannya malah memilih pemimpin kafir (non muslim).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar