"Sesungguhnya Allah Akan Mengangkat Derajat Orang Yang Beriman dan Memiliki Ilmu Pengetahuan Beberapa Derajat"

Senin, 15 Agustus 2016

HUKUM LEASING (PEMBIAYAAN)

HUKUM LEASING DALAM PANDANGAN ISLAM 


saat ini orang sudah dengan mudah memiliki kendaraan untuk berbagai keperluan baik sepeda motor atau mobil meskipun ia tidak memiliki uang tunai untuk membelinya. menjamurnya berbagai lembaga pembiayaan atau finance sangat membantu. tetapi yang selanjutnya menjadi masalah adalah apakah praktik yang berlaku di negara kita terebut dibenarkan dalam islam atau merupakan sesuatu yang haram???

berikut ini adalah posting yang saya copy dari blog Abu Aina Aidi Rahmat Bin Ali Badrun

Saudaraku.... !
istilah leasing berasal dari kata lease, yang berarti sewa menyewa.
Leasing terbagi ke pada dua macam :


Pertamafinance lease  yaitu hak lessee (pihak penerima sewa guna usaha) untuk membeli barang modal yang disewa guna usaha atau memperpanjang waktu perjanjian sewa guna usaha. Leasing inilah yang kemudian dikenal dengan istilah "leasing" saja. Keduaoperating lease  atau sewa menyewa biasa.


Pada kesempatan ini kita tidak membahas jenis leasing yang kedua, karena sudah jelas kebolehannya.
Nah, yang akan kita bahas adalah jenis yang pertama, yaitu finance lease, bagaimanakah tinjauan islam dalam masalah ini ?

finance lease banyak dilakukan dalam kredit motor, mobil, barang elektronik, furnitur, dan lain-lain yang diberikan oleh berbagai bank atau lembaga pembiayaan, seperti Adira, FIF, dan sebagainya. Praktik yang biasa terjadi sebagai berikut (misal leasing motor) : seorang (misal fulan) datang ke lembaga pembiayaan dan ingin membeli motor secara kredit karena tak punya uang tunai. Lembaga pembiayaan membeli motor dari suplier/dealer motor, lalu dilakukan akad leasing antara lembaga pembiayaan dengan Fulan misalnya dalam jangka waktu tiga tahun. Dalam akad leasing itu terdapat fakta transaksi sebagai berikut:

  Pertamalessor (lembaga pembiayaan) sepakat setelah motor itu dia beli dari dealer/suplier, dia sewakan kepada lessee selama jangka waktu tiga tahun.

Kedua, lessor sepakat setelah seluruh angsuran lunas dibayar dalam jangka waktu tiga tahun, lessee (Fulan) langsung memiliki motor tersebut.

Ketiga, menurut fakta leasing yang ada, selama angsuran belum lunas dalam jangka tiga tahun itu motor tetap milik lessor.

Keempat, motor itu dijadikan jaminan secara fidusia untuk leasing tersebut. Karena itu BPKB motor itu tetap berada di tangan lessor hingga seluruh angsuran lunas. Konsekuensinya jika lessee (Fulan) tidak sanggup membayar angsuran sampai lunas, motor akan ditarik oleh lessor dan dijual.


Leasing ini (finance lease) hukumnya haram, berdasarkan dalil-dalil berikut:

Pertama, dalam leasing terdapat penggabungan dua akad, yaitu sewa menyewa dan jual beli, menjadi satu akad (akad leasing). Padahal syara' telah melarang penggabungan akad menjadi satu akad.
Rasulullah bersabda :


«نهى رسول الله صلى الله عليه وسلّم عن صفقتين في صفقة واحدة».

Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu kesepakatan. HR. Ahmad
Kata Ibn Mas'ud
«الصفقتان في الصفقة ربا».
Dua kesepakatan dalam satu kesepakatan adalah ribaHR. Alhafidz Ibn Hammam As Shan'any

Didalam hadits lain ,Rasulullah SAW bersabda :


«نهى رسـول الله صلى الله عليه وسلّم عن بيعتين في بيعة»،
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua bentuk transaksi dalam satu akadHR. An Nasai no. 4632, Tirmidzi no. 1231 dan Ahmad 2: 174



Ketiga, dalam akad leasing ada akad jaminan , yaitu menjaminkan barang yang sedang menjadi obyek jual beli :
Ada 2 pendapat di dalam masalah ini :

1. Pendapat yang tidak membolehkan.    

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, "Tidak boleh jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli.: (Al Fatawa al Fiqhiyah al Kubra, 2/287). Imam Ibnu Hazm berkata, " Tidak boleh menjual suatu barang dengan syarat menjadikan barang itu sebagai jaminan atas harganya. Kalau jual beli sudah terlanjur terjadi, harus dibatalkan." (Al Muhalla, 3/437 ).

2.Pendapat yang membolehkan :

Pendapat Ulama Madzhab Maliki :
وأصل مذهب مالك في هذا أنه يجوز أن يؤخذ الرهن في جميع الأثمان الواقعة في جميع البيوعات إلا الصرف ورأس المال في السلم المتعلق بالذمة، وذلك لأن الصرف من شرطه التقابض.
Pokok Madzhab Imam Malik dalam masalah obyek gadai (rahn) adalah diperbolehkan mengambil gadai pada seluruh jenis harga dalam beragam transaksi jual – beli kecuali transaksi sharf (pertukaran mata uang) dan pokok harta dari transaksi salam yang terkait dengan tanggungan, karena syarat dalam transaksi sharf adalah adanya serah terima (taqabudh) pada majlis akad (spot transaction). (Kitab Bidayatul Mujtahid – Ibn Rusyd, Jilid 2/hal. 221)
Pendapat Madzhab Hambali :
مذهب الحنابلة: جاء في كشاف القناع 3/189 ” :  190 – من الشروط الصحيحة  ( شرط من مصلحة العقد ) أي: مصلحة تعود على المشترط ( كاشتراط صفة في الثمن , كتأجيله أو ) تأجيل (بعضه) إلى وقت معلوم ( أو ) اشتراط ( رهن معين ) بالثمن , أو بعضه ( ولو ) كان الراهن المبيع ) فيصح اشتراط رهن المبيع على ثمنه، فلو قال: بعتك هذا على أن ترهننيه على ثمنه , فقال : اشتريت ورهنتك، صح الشراء والرهن
Madzhab Hambali: termasuk syarat-syarat sah (syarat dari maslahat akad) yaitu maslahat yang kembali kepada apa yang dipersyaratkan, (seperti syarat sifat pada harga, seperti harga yang diakhirkan)  mengakhirkan (sebagiannya) hingga waktu tertentu (atau) menetapkan syarat (menjaminkan (gadai) sesuatu) atas harganya, atau sebagian (walau) jika pemilik barang (rahin) menjaminkan barang yang dibeli secara kredit), maka sah penetapan syarat untuk menjaminkan (gadai) barang yang dibeli secara kredit atas harganya, jika penjual berkata: saya jual barang ini supaya anda menjaminkan barang tersebut atas harganya, kemudian pembeli menjawab: saya beli dan saya jaminkan (gadai) barang ini kepada anda, maka sah jual beli dan gadainya. (Lihat: Kitab Kasyaf Al-Qana’ jilid 3/hal. 189 – 190 )

Pendapat Al-Alamah Ibn Al-Qayyim :
يجوز رهن المبيع قبل قبضة على ثمنه في أصح الوجهين، كما يصح رهنه قبل القبض بدين آخر غير ثمنه ومن غير البائع، بل رهنه على ثمنه أولى، فإنّه يملك حبسه على الثمن بدون الرهن، فلأن يصح حبسه على الثمن رهناً أولى وأحرى -إغاثة اللهفان 2/53
Ibn Qayyim berkata: boleh menggadaikan barang yang dijual (kepada penjual) atas harganya (atas pembayaran secara mencicil/tangguh) sebelum diserahterimakan menurut pendapat yang paling shahih dari 2 pendapat yang ada, sebagaimana boleh menggadaikan barang sebelum diserah-terimakan atas hutang lain yang bukan termasuk harganya dan kepada selain penjual barang. Bahkan menjaminkan barang (kepada penjual) atas harganya (atas pembayaran secara mencicil/tangguh) lebih utama, karena penjual memiliki hak menahan barang atas harganya (atas pembayaran secara mencicil/tangguh) tanpa harus digadai. Maka diperbolehkan (penjual) menahan barang atas harganya adalah lebih utama dan lebih baik. (Lihat: Syeikhul Islam Ibnul Qayyim Al-jauziyah, Kitab Ighasatul Lahfan Jilid 2/hal. 53 )
 وهكذا في المبيع يشترط على المشتري رهنه على ثمنه حتى يسلمه إليه، ولا محذور في ذلك أصلاً، ولا معنىً، ولا مأخذاً قوياً يمنع صحة هذا الشرط والرهن، وقد اتفقوا أنه لو شرط عليه رهن عين أخرى على الثمن جاز ، فما الذي يمنع جواز رهن المبيع على ثمنه ؟ .لا فرق بين أن يقبضه أو لا يقبضه على أصح القولين، وقد نص الإمام أحمد على جواز اشتراط رهن المبيع على ثمنه، وهو الصواب ومقتضى قواعد الشرع وأصوله…وهو مذهب مالك وأبي حنيفة، وأحد قولي الشافعي، وبعض أصحاب الإمام أحمد، وهو الصحيح ( إعلام الموقعين 4/33).
Al-Alamah Ibnul Qayyim berkata: Demikian terkait dengan barang yang dijual (al-mabi’) ketika penjual menetapkan syarat kepada pembeli untuk menggadaikan (menjaminkan) barang atas harganya (yang dibeli secara tangguh/kredit) hingga ia (pembeli) menyerahkan (membayar) harganya. Dan hukum asalnya, hal tersebut tidak berdosa. Tidak ada suatu pengertian, argumentasi yang kuat untuk menolak keabsahan syarat dan gadai ini. Dan para ulama telah bersepakat jika penjual menetapkan syarat kepada pembeli untuk menggadaikan barang lain untuk menjamin harga barang (yang dibeli secara tangguh/kredit) adalah boleh. Apa yang menghalangi kebolehan menjaminkan barang atas harganya (yang dibeli secara tangguh/kredit) ?Tidak ada perbedaan antara ia (penjual) menguasai (al-qabdh) barang atau tidak, menurut pendapat yang paling shahih dari 2 pendapat yang ada. Imam Ahmad menyatakan tentang kebolehan syarat menjaminkan barang atas harganya (yang dibeli secara tangguh/kredit). Pendapat ini adalah pendapat yang benar (shawab) dan sesuai dengan maksud kaidah dan pokok hukum syara’.


Hal ini merupakan pendapat madzhab Imam Malik, Abu Hanifah, salah satu dari 2 pendapat Imam Asy-Syafi’I dan sebagian sahabat Imam Ahmad. Pendapat ini adalah pendapat yang absah (shahih) (Lihat: Syeikhul Islam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Kitab I’lamul Muwaqi’in, Jilid 4/hal. 33 )

Pendapat Imam Buhuti Al-Hambali :
 فيصح اشتراط رهن المبيع على ثمنه، فلو قال: بعتك هذا على أن ترهننيه على ثمنه، فقال:اشتريت ورهنتك صح الشراء والرهن - كشاف القناع  3 / 189.
Diperbolehkan syarat menjaminkan barang yang dijual atas harganya (atas pembayaran secara mencicil/tangguh). Jika ia (penjual) berkata: aku menjual kepadamu barang ini, agar kamu menggadaikan barang ini atas harganya (atas pembayaran secara mencicil/tangguh), lalu ia (pembeli) menjawab: aku membeli (barang ini) dan aku menggadaikannya kepadamu, maka hukum jual – beli dan gadai ini adalah sah (shahih). (KItab Kasyaf Al-Qana’ Ann Matanil Iqna’, jilid 3/hal. 189, Penerbit Darul Fikr , Tahun Terbit 1982 )

Pendapat Imam Ibn Qudamah :
ولو لم يشترطا رهنا في البيع‏,‏ فتطوع المشترى برهن وقبضه البائع كان حكمه حكم الرهن المشروط في البيع‏,‏ ولا ينفك شيء منه حتى يقضى جميع الدين ولا يملك الراهن انتزاعه ولا التصرف فيه‏,‏ إلا بإذن المرتهن إلا أنه إذا رده بعيب أو غيره لم يملك فسخ البيع‏.‏ –   المغني  -  كتاب الرهن  86 من 391
Dan Jika keduanya (penjual dan pembeli) tidak menetapkan syarat jaminan (gadai) dalam jual-beli, kemudian pembeli secara sukarela (tathawu’) memberikan jaminan (gadai) dan pembeli menahan (al-qabdh) barang tersebut, maka hukumnya adalah hukum gadai yang bersyarat dalam jual beli, dan akad berlaku terus (tidak dapat dibatalkan) hingga ia (pembeli) melunasi seluruh hutangnya. Penerima barang gadai (ar-rahin) tidak memiliki hak untuk mencabut barang tersebut (mengusainya) dan melakukan tasharuf (perbuatan hukum) atasnya, kecuali dengan izin dari pemberi barang gadai (al-murtahin).Adapengecualian tatkala pembeli mengembalikan barang karena adanya cacat (aib) atau sebab lainnya, maka ia (pembeli) tidak memiliki hak untuk membatalkan (al-faskh) jual beli tersebut. (lihat: Ibn Qudamah, Kitab Al-Mughni – Kitab Ar-Rahn hal. 391)
Pendapat Syeikh DR. Hishamudin Afanah (Guru Besar Fakultas Ilmu Fiqh & Ushul di Kota Al-Quds – Palestina) :
 بيع المرابحة للآمر بالشراء إذا وقع على سلعة بعد دخولها في ملك المأمور وهو البنك، وحصول القبض المطلوب شرعاً، هو بيع جائز طالما كانت تقع على المأمور مسؤولية التلف قبل التسليم، وتبعة الرد بالعيب الخفي ونحوه من موجبات الرد بعد التسليم، وتوافرت شروط البيع وانتفت موانعه كما  جاء في القرار الصادر عن المجمع الفقهي التابع لمنظمة المؤتمر الإسلامي. ويجوز للبنك الإسلامي أن يشترط رهن السلعة المبيعة- السيارة مثلاً – ضماناً لسداد ثمنها، وهذا على الراجح من أقوال الفقهاء، وهو مذهب أبي حنيفة ومالك وأحد قولي الشافعي والصحيح من مذهب أحمد. واختاره شيخ الإسلام ابن تيمية وتلميذه العلامة ابن القيم والعلامة العثيمين وغيرهم، وقد أخذ به مجمع الفقه الإسلامي.

Jual beli murabahah dengan pesanan (murabaha lil Amr bi Asy-Syira’), jika terjadi pada barang setelah menjadi milik bank, dan telah diterima atau dikuasai (al-qabdhu) seperti yang dikehendaki oleh syariah, adalah jual – beli yang mubah selama berjalan sesuai dengan yang diperintahkan, seperti terkait tanggung jawab kerusakan sebelum diserah terimakan, mengembalikan barang karena ada cacat yang tersembunyi, dan hal lian yang mengahruskan pengembalian barang setelah diserah terimakan. Serta telah terpenuhi rukun dan syarat dalam jual beli, tidak ada penghalang (mawani’) seperti keputusan yang dikeluarkan oleh Majma Fiqhi. Maka diperbolehkan bagi bank syariah untuk menetapkan syarat gadai atas barang yang dijual secara kredit (contoh: mobil) sebagai jaminan atas pembayaran harganya. Ini merupakan pendapat yang kuat (rajih) dari pendapat para fuqaha’, dan ini merupakan pendapat Madzhab Imam Abu Hanifah, Malik dan salah satu dari 2 pendapat Imam Syafi’I dan pendapat yang shahih menurut Imam Ahmad. Syeikhul Islam Ibn Taimiyah dan muridnya Al-Alamah Ibnul Qayyim dan Al-Alamah Ibn Utsaimin dan ulama lainnya, bahkan Majma’ Fiqh Al-Islamy-pun memilih pendapat ini )

Pendapat Syeikh Shalih Fauzan :
وقال صاحب الملخص الفقهي  : ويجوز رهن المبيع على ثمنه ,لآن ثمنه دين في الذمة والمبيع ملك للمشتري فجاز رهنه به ,فإذا اشترى داراً أو سيارة مثلاً بثمن مؤجل أوحالٍ ولم يقبض فله رهنه حتى يسدد
Penulis kitab Al-Mulakhash Al-Fiqhi berkata: boleh menjaminkan barang yang dijual (al-mabi’) atas harganya (atas pembayaran secara mencicil/tangguh). Karena harga barang tersebut adalah hutang yang menjadi tanggung jawab pembeli. Barang adalah milik pembeli, maka boleh bagi pembeli utuk menjaminkan barang (yang diperoleh secara tangguh/kredit) kepada penjual. Jika ia membeli rumah atau mobil secara tangguh/kredit dan ia belum menerima barangnya, maka ia dapat menjaminkan (gadai) barang tersebut hingga ia melunasinya (hutang-hutang) (Lihat: Syeikh Shalih Fauzan, Kitab Al-Mulakhash Al-Fiqhii )

Pendapat Syeikh Su’ud As-Safarii :
فضيلة الشيخ سعود السفري هذه المسألة :فكان جوابه :يجوز أن يكون الرهن عين المبيع أذا رضي الراهن وعلى ذلك أذا لم يستوفي ماعليه من دين بعد حلول الأجل فعلى المرتهن أن يبع الرهن ويأخذ ماعليه من حق ويرد الزيادة للراهن دون أخذ أي زيادة مهما اختلف الثمن ….
Boleh menjaminkan (gadai) barang yang dibeli secara kredit jika pemilik barang rela (ridha). Namun jika pembeli tidak dapat membayar hutangnya pada saat jatuh tempo, maka penerima barang gadai (murtahin) dapat menjual barang gadai (ar-rahn) dan mengambil haknya dan mengembalikan kelebihan harga penjualan kepada pemilik barang tanpa mengambil kelebihan apapun tatkala ada perbedaan harga.

Pendapat Majma Al-Fiqh Al-Islamii :
وقد جاء قرار مجمع الفقه الإسلامي على وفق المعتمد من مذهب الحنابلة، وذلك في القرار رقم: (133) (7/14)، ونصه: “لا يحق للبائع الاحتفاظ بملكية المبيع بعد البيع، ولكن يجوز للبائع أن يشترط على المشتري رهن البيع عنده لضمان حقه في استيفاء الأقساط المؤجلة”.
Terdapat keputusan dari Lembaga Majma Al-Fiqh Al-Islamii sesuai dengan pendapat yang terpilih (mu’tamad) dalam madzhab hambali. Hal tersebut dalam keputusan No. 133 (14/7): “penjual tidak berhak menahan kepemilikan barang yang telah dijual, tetapi penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjaminkan barang  miliknya untuk menjamin hak penjual dalam pemenuhan cicilan harga yang ditangguhkan
 ”.
lihat:

 وفي قرار المجمع رقم: 53/2/6يجوز للبائع أن يشترط على المشتري رهن المبيع عنده لضمان حقه في استيفاء الأقساط  المؤجلة)
Pendapat situs islamweb.com :
وأما رهن المبيع في ثمنه فالراجح جوازه .جاء في قرار مجمع الفقه الإسلامي ما يلي: لا يحق للبائع الاحتفاظ بملكية المبيع بعد البيع، ولكن يجوز للبائع أن يشترط على المشتري رهن المبيع عنده لضمان حقه في استيفاء الأقساط المؤجلة
Dan terkait menggadaikan barang yang dijual atas harganya (atas pembayaran secara tangguh/mencicil), maka pendapat yang kuat (rajih) membolehkan hal tersebut. Seperti keputusan dari Lembaga Majma Al-Fiqh Al-Islamii sebagai berikut: “penjual tidak berhak menahan kepemilikan barang yang telah dijual, tetapi penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjaminkan barang  miliknya untuk menjamin hak penjual dalam pemenuhan cicilan harga yang ditangguhkan”.
Pendapat Haiah Kibaril Ulama – Kerajaan Arab Saudi :
وأجازت هيئة كبار العلماء السعودية في دورتها الثانية والخمسين أن يبيع الشيء ويرهنه على ثمنه ويحتاط لنفسه بالاحتفاظ بوثيقة العقد ونحو ذلك
Haiah Kibaril Ulama – Kerajaan Saudi Arabia dalam pertemuannya ke – 52 memperbolehkan aktifitas menjual suatu barang dan menjaminkan (gadai) barang tersebut atas harganya (atas transaksi jual beli secara tangguh/kredit), dan menjaga kepentingannya dengan melakukan tindakan pencegahan untuk menjaga kontrak, dan hal yang serupa dengan itu.

Fatwa dari Dewan Fatwa dan Pengawas Shariah – Dubai Islamic Bank :
[ هل يجوز للمصرف ‏ ‏الإسلامي إدخال السلعة المبيعة بالمرابحة كضمان‏‏ ؟
الجواب: العقد شريعة المتعاقدين فإذا اشترط البائع أن يحبس المبيع حتى أداء جميع الثمن فهو شرط يقتضيه العقد وإنما يحبس البائع المبيع إذا كان الثمن حالاً أما إذا كان مؤجلاً فلا يجوز الحبس لأنه رضي بتأخير الثمن، لكن ‏ ‏يجوز له أن يرهن المبيع رهنا ائتمانياً أي رسمياً ‏- ‏‏يُنص عليه في العقد حتى يستوفي الثمن ضماناً لحق البنك، لأن الرهن الائتماني لا يمنع المالك من التصرف في ملكه ‏] عن الإنترنت
.
Apakah boleh bagi Bank Islam menjadikan barang yang dijual dalam akad murabahah (secara tangguh/kredit) sebagai jaminan  ?

Jawab :

Akad yang mengikat kedua pihak (pembeli dan penjual), jika penjual menetapkan syarat untuk menahan barang yang dijual (al-mabi’) hingga pembeli melunasi seluruh hutangnya. Hal ini adalah syarat yang ditunjukkan oleh akad (muqtada al-aqd). Penjual boleh menahan  barang, hingga pembayaran dilakukan secara tunai (lump sum). Adapun jika jual beli dilakukan secara tangguh/kredit, maka tidak boleh penjual menahan fisik barang karena ia telah rela dengan pembayaran dilakukan secara tangguh/kredit. Tapi pembeli boleh menjaminkan dokumen kepemilikan barang (rahnan i’timaniyah/rahnan rasmiyan) –klausul ini disebutkan dalam akad hingga pembeli melunasi seluruh hutangnya sebagai jaminan atas hak bank. Karena menjaminkan dokumen kepemilikan barang tidak menghalangi pembeli untuk melakukan tasharuf (perbuatan hukum) atas barang tersebut (Dewan Fatwa dan Pengawas Syariah – Dubai Islamic Bank)


Pendapat Standards of the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI ):

[ ينبغي أن تطلب المؤسسة من العميل ضمانات مشروعة في عقد بيع المرابحة للآمر بالشراء. ومن ذلك حصول المؤسسة على كفالة طرف ثالث، أو رهن الوديعة الاستثمارية للعميل أو رهن أي مال منقول أو عقار، أو رهن سلعة محل العقد رهنا ائتمانياً رسمياً دون حيازة، أو مع الحيازة للسلعة وفك الرهن تدريجياً حسب نسبة السداد.]  (المعايير الشرعية ص 115)
Hendaknya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) meminta jaminan yang dipersyaratkan pada akad murabahah dengan cara pesanan (murabahah lil amr bi asy-syira’).  Sehingga LKS memperoleh jaminan (kafalah) dari pihak ketiga, atau jaminan (gadai) cash collateral nasabah (bias berupa tabungan atau deposito nasabah), atau jaminan dari harta bergerak atau tidak bergerak (aktiva tetap), atau yang dijaminkan (digadaikan) adalah barang yang menjadi obyek akad (sil’ah mahal al-aqd) baik pengikatan jaminan dengan menguasai barang tersebut (ar-rahn I’timaniyah rasmiyan hiyazah) atau mengusai dokumen kepemilikan barang (ar-rahn I’timaniyah rasmiyan duna hiyazah). Dan pelepasan atas jaminan (gadai) dilakukan secara bertahap sesuai prosentase pembayaran hutang. (Lihat Ma’ayir Asy-Syar’iyah Standar Organisasi Akuntansi dan Auditing untuk Lembaga Keuangan Islam, hal. 115)
Pedoman Akad Murabahah Yang Dikeluarkan Oleh Dewan Syariah – Islamic Bank of Saudi Arabia :
[ للبنك أن يطلب من العميل ضمانات مشروعة في عقد بيع المرابحة للآمر بالشراء. ومن ذلك: كفالة طرف ثالث، أو رهن أي منقول أو عقار للعميل، ولو كان المرهون مبلغاً في حساب جار أو استثماري له، أو كان المرهون هو السلعة محل العقد سواءٌ كان الرهن حيازياً، أو رسمياً دون حيازة. وينبغي فك الرهن تدريجياً حسب نسبة السداد.] موقع بنك البلاد على الإنترنت.
Bank Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah berupa jaminan yang dipersyaratkan pada akad murabahah dengan cara pesanan (murabahah lil amr bi asy-syira’).  Baik berupa jaminan (kafalah) dari pihak ketiga, atau jaminan (gadai) cash collateral nasabah (bias berupa tabungan atau deposito nasabah), atau jaminan dari harta bergerak atau tidak bergerak (aktiva tetap), atau barang yang dijaminkan (mortgaged) adalah barang yang menjadi obyek akad (sil’ah mahal al-aqd) baik pengikatan jaminan dengan menguasai barang tersebut (ar-rahn hiyaziyan) atau mengusai dokumen kepemilikan barang (ar-rahn rasmiyan). Dan pelepasan atas jaminan (gadai) dilakukan secara bertahap sesuai prosentase pembayaran hutang. (Lihat: Dhawabith Aqd Al-Murabahah Ash-Shadirah Ann Al-Haiah Asy-Syar’iyah Lil Bank Al-Balad Al-Islamii As-Su’udii)
5)  Menjawab Argumentasi Kelompok Yang Melarang Menjaminkan Barang Yang Diperoleh secara Kredit
Syeikh Shalih Fauzan memaparkan sejumlah alasan untuk menjawab argumentasi kelompok yang menolak dan mengharamkan aktifitas menjaminkan (gadai) barang yang diperoleh secara tangguh/kredit, sebagai berikut:
1-     Argumen pertama:
menjaminkan barang yang diperoleh secara kredit adalah menjaminkan barang sebelum dimiliki.
Jawaban:
Hal ini tidak mempengaruhi hukum, karena telah disepakati kedua pihak dalam akad. Mereka (penjual & pembeli) dapat memasukkan klausul  dalam akad yang membawa maslahat. Walhasil, tidak ada larangan pada hal ini menurut syara’ dan kebiasan (urf).
* Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:
اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
“Perdamaian (musyawarah mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”
2- Argumen kedua:
Menjaminkan barang yang diperoleh secara kredit, menyebabkan penjual tidak memperoleh harga barang, karena penyerahan barang yang dijual adalah sarana untuk mendapatkan harga barang.
Jawaban:
Hal ini merupakan istilah dan ijtihad mereka, dan bukan merupakan hukum syara’ itu sendiri. Lalu apa penghalang dari menyerahkan harga barang (uang) sebelum penyerahan barang yang dimaksud ? * Padahal sebagian ulama membolehkan akad rahn sebelum ada serah terima, seperti pernyataan beberapa ulama berikut :
Pendapat Ibnul Qayyim :
يجوز رهن المبيع قبل قبضة على ثمنه في أصح الوجهين، كما يصح رهنه قبل القبض بدين آخر غير ثمنه ومن غير البائع (إغاثة اللهفان 2/53)
“boleh menggadaikan barang yang dijual (kepada penjual) atas harganya (atas pembayaran secara mencicil/tangguh) sebelum diserahterimakan menurut pendapat yang paling shahih dari 2 pendapat yang ada, sebagaimana boleh menggadaikan barang sebelum diserah-terimakan atas hutang lain yang bukan termasuk harganya dan kepada selain penjual barang. (Lihat: Syeikhul Islam Ibnul Qayyim Al-jauziyah, Kitab Ighasatul Lahfan Jilid 2/hal. 53)
Pendapat Ibnul Haajib :
يصح الرهن قبل القبض ولا يتم إلا به) (حاشية الدسوقي على الشرح الكبير , باب في الرهن
Absah akad gadai (rahn) sebelum serah terima barang, dan tidak sempurna akan rahn kecuali dengannya. (Lihat: Ibn Arafah Ad-Dusuqii, Hasyiyah Ad-Dusuqi Alaa Syarhil Kabir, Dar Ihya’ Kutub Al-Arabiyah, Cetakan Ke-4)
3- Argumen ketiga:
Menjaminkan barang yang diperoleh secara kredit berarti pembeli telah menyerahkan harga dari barang, sedangkan pembeli memiliki pilihan (khiyar) untuk menyerahkan bagian manapun dari barang yang telah dibeli atau barang lainnya.
Jawaban :
Tetapi Syara’ tidak memberikan perhatian khusus atas hal ini, maka tidak terlarang untuk melakukannya. * Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.
(إعلام الموقعين عن رب العالمين 3/107- 112 ; مجموع فتاوى شيخ الإسلام 29/17-18; الأم 3/3)
“Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
Para ulama-pun mencantumkan dalam karya mereka nash-nash syara’ yang mendukung validitas kaidah ini (Lihat: kitab i’lamul muwaqi’in 3/107; Maj’mu Fatawa Syeikul Islam 29/17-18; Al-Umm 3/3). Oleh karena, tidak ada dalil spesifik yang melarang, maka hukum menjaminkan barang yang diperoleh secara kredit kepada penjual adalah boleh (mubah ).
4- Argumen Keempat:
Menjaminkan barang yang diperoleh secara kredit menghalangi pembeli untuk melakukan tasharuf atas barang tersebut.
Jawaban :
Menjaminkan barang yang diperoleh secara tangguh/kredit tidak menghalangi pembeli untuk melakukan tindakan hukum (tasharuf) atas barang tersebut. *Karena pada prakteknya yang dilakukan adalah rahn iqary/rasmi, dimana yang digadaikan berupa dokumen kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai (ar-rahin ).)
Walhasil, dapat disimpulkan bahwa  finance lease secara syariat diharamkan karena adanya fakta yang pertama yaitu ada dua kesepakatan dalam satu transaksi Wallahu a’lam bi shawab.
( Sumber : http://www.eidibenali.com/2012/10/hukum-leasing-dalam-pandangan-islam.html )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar